AMAN Nusa Bunga Soroti Dugaan Kesalahan Prosedur Dalam Rencana Pembangunan Waduk Lambo Sehingga Masih Di Tolak Masyarakat Adat

Ende suaranusabunga.com – Sebagai satu – satunya organisasi massa yang peduli terhadap keberadaan Masyarakat Adat di Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merasa peduli terhadap persoalan – persoalan yang menimpa Masyarakat Adat baik secara umum di seluruh Indonesia maupun secara khusus di wilayah Flores – Lembata.
Menanggapi persoalan – persoalan terutama persoalan yang mengatasnamakan pembangunan namun membawa dampak buruk terhadap keberadaan Masyarakat Adat, AMAN wilayah Nusa Bunga sebagai satu – satunya organisasi Masyarakat Adat yang ada di Flores dan Lembata tentunya sangat prihatin terhadap kejadian – kejadian yang mengatasnamakan pembangunan tersebut.
Demikian pernyataan pers  ketua AMAN wilayah Nusa Bunga Philipus Kami di rumah AMAN Nusa Bunga Jumad 1/10/2201.
Dikatakan Masyarakat Adat yang ada di seluruh daratan Flores dan Lembata saat ini sedang mengalami banyak persoalan sebagai akibat dari dampak pelaksanaan pembangunan sehingga AMAN Nusa Bunga secara organisasi mendorong Pemerintah Daerah dan DPRD Flores – Lembata untuk melibatkan Masyarakat Adat menjadi salah satu kekuatan dalam perencanaan pembangunan di masing – masing kabupaten karena Masyarakat Adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempertahankan dan mewarisi nilai – nilai luhur kepada anak cucu dan generasi ke depan yang juga mejadi kekuatan untuk membentengi pengaruh – pengaruh budaya luar.
Beberapa kasus Masyarakat Adat yang menjadi sorotan AMAN Nusa Bunga antara lain Kasus tanah Masyarakat Adat di Golo Mori, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat yang berbuntut penahanan terhadap 21 anggota Masyarakat Adat, Kasus Geothermal Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Masalah Pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Satar Punda – Manggarai Timur, Kasus Geothermal Ulumbu di Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai.
Kasus Geothermal di Dorotei, Mataloko, Kabupaten Ngada yang hingga saat ini tidak pernah ada perhatian dari pemerintah, Masalah Pembangunan Waduk Lambo di Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Kasus HGU Nangahale, Kecamatan Tali Bura – Kabupaten Sikka, Kasus HGU Hokeng, Kecamatan Wulangitang – Flores Timur
Berkaitan dengan pembangunan waduk Lambo tutur Philipus, Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo sesungguhnya tidak menolak pembangunannya namun Masyarakat Adat menolak lokasi pembangunannya dengan memberikan solusi lokasi alternatif dari Lowo Se ke Malawaka dan Lowo Pebhu yang juga masih dalam wilayah adatnya karena di lokasi Lowo Se terdapat pemukiman warga, berbagai intentitas budaya, padang perburuan adat, kuburan Leluhur, sarana publik (gereja, sekolah SMP dan SD) dan lahan – lahan pontesial Masyarakat Adat, dan juga padang ternak.
Menurut Philipus, jika dari awal proses rencana pembangunan waduk Lambo Masyarakat Adat pemilik lahan tidak dilibatkan secara penuh dan tidak ada transparansi antara pihak pemerintah (BWS Nusa Tenggara II) dengan Masyarakat Adat sehingga terjadi perlawanan dari Masyarakat Adat.
“Sangat tidak benar kalau pemerintah mengabaikan hak – hak konstitusi Masyarakat Adat yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 (B) ayat 2 dan pasal 28 UUD 1945. Pemerintah dan BWS Nusra II juga telah melanggar hak – hak asasi manusia dari rativikasi ekososbud tentang hak –  hak Masyarakat Adat internasional,” kata Philipus Kami.
Mantan anggota DPRD Ende 2 periode ini menjelaskan, Masyarakat Adat sudah berkali – kali menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kabupaten, provinsi bahkan sampai juga ke pusat dimana pada Agustus 2017 utusan Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora telah bertemu Menteri PUPR dengan mengatakan jangankan 100 orang, satu orang saja masih menolak maka waduk ini tidak jadi dibangun. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan aktivitas BWS Nusa Tenggara II tetap berjalan sampai saat ini sehingga Masyarakat Adat yang merasa memiliki tanah ulayat di daerah ini melakukan aksi penolakan termasuk menghadang BWS Nusra II dan tim survey beserta aparat Brimob yang hendak memasuki wilayah adatnya.
“Jadi menurut hemat saya, Kepala BWS Nusa Tenggara II diduga tidak aspiratif dan tidak menghormati hak – hak  Masyarakat Adat dan juga tidak menghiraukan pernyataan Mentri PUPR tersebut,” jelas Philipus.
Menurut aktivis Masyarakat Adat ini, aksi Masyarakat Adat Rendu, Ndora dan Lambo yang terjadi hari – hari ini hendak menegaskan kembali bahwa pemerintah yang menjadi salah satu unsur negara ini wajib menghormati hak – hak Masyarakat Adat sesuai dengan hak konstitusinya karena sesungguhnya Masyarakat Adat tidak menolak rencana pembangunan waduk namun hanya menolak lokasi pembangunan waduk dengan memberikan dua  lokasi alternatif untuk pembangunan yakni Malawaka dan Lowo Pebhu .
Sebagai Ketua AMAN Nusa Bunga, Philipus meminta kepada pemerintah pusat hingga daerah serta stakeholder lainnya untuk segera menghentikan tindakan – tindakan yang berkaitan dengan kegiatan rencana pembangunan waduk Lambo /Mbay  pada lokasi yang ditolak warga yakni Lowo Se dan menerima saran dan solusi dari Masyarakat Adat yakni Malawaka dan atau Lowo Pebhu agar aktivitas pembangunan waduk di lokasi alternatif ini segera dimulai.
Pihaknya juga berharap kepada aparat Kepolisian maupun Brimob yang sedang bertugas di lapangan agar dapat menjalankan tugas sesuai SOP Kepolisian yang ada karena kepolisian Negara hadir untuk mengayomi, melindungi dan menghormati masyarakat adat yang tengah berjuang mempertahankan hak – hak atas tanah adat yang juga warisan leluhurnya.
“Mari kita menjaga adat istiadat dan seluruh kekayaan yang ada sebagai kekuatan dan potensi daerah yang harus dijaga, dilindungi dan dihormati agar karakter daerah dan bangsa ini tetap dalam satu Bhineka Tunggal Ika, walau kita berbeda beda tapi tetap satu,” tutupnya ( tim/humas Aman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *